kebudayaan indonesia

UPACARA ADAT SEREN TAUN, JAWA BARAT


Pernahkah anda mendengar Upacara Adat Seren Taun? 
 


Upacara Adat Seren Taun merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat sunda pada saat panen padi setiap tahu. dengan penuh khidmat dan semarak upacara adat ini berlangsung di berbagai daerah adat sunda. Upacara adat ini mempunyai simbol atau ungkapan rasa syukur masyarakat atas apa yang telah dilakukan dan diraihnya selama bercocok tanam khususnya tanaman padi. Selain digelar dengan khidmat dan sakral, upacara adat Seren Taunpun digelar dengan meriha, kemeriahan upacar ini dengan diikuti berbagai kalangan masyarakat sekitar juga masyarakat dari beberapa daerah di Jawa Barat, bahkan ada juga pengunjung dari manca Negara.
Dalam upacara ini yang menjadi objek utama adalah padi, sebab padi merupakan imbol kemakmuran dan makanan poko sehari-hari bagi masyarakat sunda, selain itu anda juga akan menyaksikan berbagai kesenian dan pertunjukkan khas sunda yang ditampilkan diantaranya :
1.   Tari Buyung
Tari ini merupakan tarian adat sunda yang mencerminkan masyarakat sunda dalam mengambil air
2.    Damar Sewu
Sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat seren taun di beberapa daerah di Jawa Barat. Helaran ini Merupakan gambaran manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial.
Dalam rangkaian pelaksanaan upacara ini tergantung daerah masing-masing, namun pada fungsi dan tujuannya sama yaitu Sebagai ungkapan rasa syukur, rasa hormat serta terimakasih kepada Yang Maha Kuasa panen yang telah  diperoleh, sebab upacara Seren Taun ini digelar dibeberapa Desa adat sunda, beberapa desa adat sunda yang menggelar upara seren taun setiap tahun yaitu :
  • Desa CigugurKecamatan CigugurKabupaten KuninganJawa Barat.
  • Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
  • Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
  • Desa KanekesKabupaten LebakBanten
  • Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya.
Dengan waktu yang berbeda menurut perhitungan dan kebiasaan di daerah masing-masing, salah satunya di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat, upacara ini digelar setiap tanggal 22 bulan Rayagung (Dzulhijjah) perhitungan hijriyah.

UPACARA ADAT BATAK TOBA, SUMATERA UTARA

bd97a5f802fa9915d02896fbf9108eb0_adat
Kehidupan Masyarakat Batak adalah kehidupan yang sangat menjunjung tinggi adatnya. Masyarakat Batak bahkan sebelum lahir ke dunia pun (masih dalam kandungan) sudah melakoni adat sampai seorang Batak tersebut meninggal dan menjadi tulang-belulang masih ada serangkaian adat. Ini bukan menunjukkan rumitnya Batak dan adatnya, ini menunjukkan bahwa Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu) selalu ditunjukkan dengan perayaan serta syukuran dan Adat digunakan sebagai pertanda.
Beberapa macam Adat Batak Toba :
1.Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh bulanan)
Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang usia
kandungannya tujuh bulan.
2. Upacara adat Mangharoan
Upacara adat mangharoan (dibaca:Makkaroan) adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi tersebut dalam keluarga tersebut.
3. Upacara adat Martutu aek
Upacara adat martutu aek adalah upacara adat pemberian nama kepada bayi. Namun, padasaat ini, upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaranagama.
1d6ef3d6c77c09aa5c32f4f180e8a2e8_martutuaek
4. Upacara adat Marhajabuan
Upacara adat marhajabuan adalah upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba, marhajabuan(berumah-tangga) artinya setiap masyarakat batak yang akan berumah tangga atau menikah harus melalui sebuah pesta adat tidak boleh hanya dibaptis di gereja atau hanya sekedar akad nikah. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga dari pihak pria maupun wanita dan diadakan pemberian ulos kepada pasangan yang menikah.
5. Upacara adat Manulangi
Upacara adat manulangi adalah upacara adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan menyuapi/menyulangkan makanan kesukaan atau makanan yang terbaik oleh anak dan cucunya.
6. Upacara adat Hamatean
Upacara adat hamatean adalah upacara adat kematian saat seseorang Batak meninggal disesuaikan dengan adat Batak Toba apakah adat yang akan dibuat jika seseorang meninggal sebagai sari matua, saur matua, maulibulung dll.
c3428e0cff540fa06bafcb8ed8a2571a_mate
7. Upacara adat Mangongkal holi
Upacara adat mangongkal holi adalah upacara adat penggalian tulang belulang orang tua yang
telah meninggal untuk dimasukkan kedalam tugu (monumen untuk menghormati orang yang meninggal).
 
 
 

UPACARA ADAT SUNDA, JAWA BARAT

Adat Istiadat Sunda yang Menawan
Suku sunda merupakan suku yang sangat kaya akan adat dan istiadat. Sampai saat ini, suku Sunda masih memelihara dan menghargai adat istiadat yang mereka miliki. Salah satu uapacara adat yang menarik adalah upacara adat sunda saat perkawinan. Untuk prosesinya sama seperti perkawinan pada umumnya seperti mengucapkan ijab Kabul dan sebagainya. Yang unik dan tak kalah sakral adalah setelah akad nikah selesai. Upacara adat sunda yang dilaksanankan setelah akad nikah adalah 
  • Menginjak telur atau sering disebut nincak endog dengan makhsud agar malam pertama si pengantin berjalan indah dan lancar. 
  • Muleum Harupat atau membakar segenggam lidi yang berisi 7 potongan lidi agar sifat jelek yang ada pada diri manusia seperti iri, dengki, tamak, sombong, kikir, pemarah, dan lainnya dapat terbakar atau hilang. 
  • Meuspeun Kendi atau memecahkan kendi dengan tujuan melepas masa bujangan dan gadis pada malam pertama. 
  • Sawer. Dilakukan dengan cara melempar barang-barang seperti permen, beras kuning, dan uang recehan diirngi dengan lagu pepatah bagi pengantin. Beras, uang receh serta permen merupakan simbol keduniaan yang harus dicari oleh kaum lelaki dan kaum perempuan harus menjaganya dengan baik. 
  • Buka pintu atau buka panto untuk mengajarkan tradisi dan tata krama bagi suami dan isteri
Itulah upacara adat sunda seusai pernikahan.

UPACARA ADAT HANTA UA PUA DARI NUSA TENGGARA BARAT

Upacara adat Hanta Ua Pua adalah upacara adat yang digelar oleh umat Islam di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu, upacara adat ini juga bertujuan untuk memperingati masuknya agama Islam ke Bima dan sekaligus menghormati para pembawa agama Islam ke daerah tersebut.
Menurut buku Bo’ Sangaji Kai, hasil suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999), Islam masuk ke Bima pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 M (15 Rabiul Awal 1050 H) dibawa oleh dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat) bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro.
Konon, upacara adat Hanta Ua Pua telah dilaksanakan oleh kerajaan dan masyarakat Bima sejak empat abad silam. Pada saat itu, upacara resmi Kerajaan Bima ini dihelat saban tahun dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, upacara sakral ini menjadi ajang silaturahmi antarsuku bangsa. Namun, upacara ini terhenti tatkala Perang Dunia II meletus. Setelah Indonesia merdeka, karena menimbang nilai-nilai historis dan religius yang terkandung di dalamnya, pihak Kerajaan Bima berinisiatif menghidupkan kembali upacara ini pada tahun 1950-an. Namun, perhelatan upacara adat tersebut terasa hambar dan kesakralannya kian tergerus. Sebagaimana diketahui, tahun 1950-an adalah masa transisi politik dari kerajaan menuju swapraja yang sarat dengan intrik politik dan konflik kepentingan. Setelah tahun 1950-an, upacara adat Hanta Ua Pua pernah digelar pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan tahun 2003. Kendati demikian, tetap saja jauh dari kesan semarak, apalagi khidmat. Setelah era reformasi dan otonomi daerah bergulir, upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya. Apalagi, upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.
Upacara adat Hanta Ua Pua dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan Bima, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Dimulai pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WITA, upacara dimulai dari Kampung Melayu dan berakhir di depan istana Kerajaan Bima yang juga dikenal dengan nama Asi Mbojo.
Salah satu yang menjadi daya tarik upacara adat resmi Kerajaan Bima ini, adalah iring-iringan Uma Lige. Uma Lige adalah semacam mahligai persegi empat yang dijadikan sebagai tandu untuk membawa penghulu Melayu dari Kampung Melayu hingga serambi Istana Kerajaan Bima. Penghulu Melayu tersebut didampingi oleh empat orang penari perempuan Lenggo Mbojo dan empat orang penari laki-laki Lenggo Melayu. Selain penghulu Melayu dan para penari, di dalam Uma Lige juga terdapat sebuah kitab suci Al-Qur’an dan Ua Pua (Sirih Puan), yaitu 99 tangkai bunga telur aneka warna dan hiasan yang dilengkapi dengan sirih dan pinang. 99 tangkai bunga telur itu melukiskan 99 nama Asmaul Husna. Uma Lige ini digotong oleh 44 orang pemuda dari berbagai kelurahan/kampung di Kota Bima, di mana masing-masing sudut Uma Lige akan digotong oleh 11 orang. Konon, 44 orang penggotong tersebut menggambarkan 44 jenis keahlian/profesi masyarakat Bima pada masa lalu. Misalnya, daerah Ngadi terkenal sebagai pencetak guru mengaji Al-Qur’an, kawasan sekitar Bedi terkenal sebagai penghasil tentara, dan lain sebagainya.
Hal lain yang dapat memesona wisatawan adalah parade pasukan berkuda. Pasukan berkuda tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu Jara Wera dan Jara Sara’u. Jara Wera adalah pasukan berkuda yang bertugas untuk mengawal Sultan Bima, sementara Jara Sara’u adalah pasukan berkuda yang digunakan untuk mengawal tamu kehormatan Kerajaan Bima. Konon dulunya, penunggang-penunggang kuda ini adalah para pendekar yang mengantar datuk-datuk dari Makassar yang datang ke Bima melalui Teluk Bima untuk memperkenalkan agama Islam pertama kalinya.
Sesampainya di depan Istana Kerajaan Bima, pasukan Jara Wera tampil ke depan. Mereka akan memperlihatkan kebolehan menunggang kuda. Setelah itu pasukan Jara Sara’u memasuki arena yang diiringi oleh bala tentara yang dilengkapi dengan pakaian kebesaran prajurit Kerajaan Bima. Mereka melakukan atraksi ketangkasan menggunakan senjata. Suasana kian meriah karena unjuk kebolehan berkuda dan ketangkasan menggunakan senjata ini diakhiri dengan masuknya para penari yang membawakan tari perang.
Setelah atraksi pasukan berkuda selesai, rombongan Uma Lige tampil ke depan. Penghulu Melayu menyerahkan Al-Qur’an kepada Jena Teke/Raja Muda Kerajaan Bima yang merupakan acara inti upacara adat Hanta Ua Pua. Penyerahan Al-Qur’an ini melambangkan bahwa Kesultanan Bima senantiasa teguh memeluk agama Islam hingga akhir zaman dan masyarakat Bima harus mengamalkan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rangkaian upacara berikutnya adalah penyerahan Ua Pua/Sirih Pinang oleh para penari Lenggo kepada Jena Teke.
Setelah upacara adat Hanta Ua Pua usai, hal lain yang membuat para turis terhibur adalah tatkala menyaksikan para pengunjung berlomba-lomba memperebutkan Ua Pua. Mereka meyakini, bahwa bunga-bunga telur tersebut dapat membawah berkah, seperti dimudahkan rezeki oleh Allah SWT dan cepat mendapat jodoh. Selain itu, sepanjang perhelatan upacara, para turis juga akan disuguhkan dengan tarian-tarian khas daerah setempat, aneka permainan rakyat, berbagai perlombaan, dan pameran benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Bima.
 

UPACARA ADAT REBA DARI NUSA TENGGARA TIMUR

Upacara Adat Reba merupakan upacara adat yang bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan rasa terima kasih terhadap jasa para leluhur. Upacara ini juga digunakan untuk mengevaluasi segala hal tentang kehidupan bermasyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani oleh masyarakat Ngada. Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat meminta petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh adat untuk dapat menjalani hidup lebih baik pada tahun yang baru. Upacara ini diadakan setiap tahun baru, tepatnya di bulan Januari atau Februari.
Tuan rumah untuk upacara ini selalu bergiliran pada setiap tahunnya. Sehari sebelum perayaan Reba dimulai, dilaksanakan upacara pembukaan Reba (su‘i uwi). Pada malam su‘i uwi dilakukan acara makan minum bersama (ka maki Reba) sambil menunggu pagi. Pada pagi harinya, ketika upacara berlangsung, para tamu disediakan makanan dan minuman yang sudah matang dan siap dimakan (Ngeta kau bhagi ngia, mami utu mogo. Kaa si papa vara, ini su papa pinu). Hidangan utama dalam pesta ini adalah ubi. Bagi warga Ngada, ubi diagungkan sebagai sumber makanan yang tak pernah habis disediakan oleh bumi. Karena itu, warga Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan ataupun busung lapar.
Selama upacara Reba berlangsung diiringi oleh tarian para penari yang menggenggam pedang panjang (sau) dan tongkat warna-warni yang pada bagian ujungnya dihiasi dengan bulu kambing berwarna putih. (tuba). Sebagai pengiring tarian adalah alat musik gesek berdawai tunggal yang terbuat dari tempurung kelapa atau juga dari labu hutan. Sebagai wadah resonansinya alat musik ini ditutupi dengan kulit kambing yang pada bagian tengahnya telah dilubangi. Sedangkan penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang telah digosok dengan lilin.
Upacara adat Reba biasa dilakukan tiga sampai empat hari. Sebelum pelaksanaan upacara tari-tarian dan nyanyian (O Uwi) diadakan misa inkulturasi di gereja yang dipimpin oleh seorang pater atau romo. Beberapa rangkaian upacara juga diiringi dengan koor nyanyian gereja, dan menggunakan bahasa lokal Ngada. Upacara ini memang memadukan unsur adat dengan agama.
Di luar gereja, suasana upacara adat bertambah meriah, ketika para penonton dan penari disodori satu dua gelas arak (tua ara). Ini merupakan tradisi setiap orang Ngada yang hadir dalam upacara tersebut. Namun demikian, Reba tidak sekadar pesta hura-hura, tapi wujud kegembiraan (gaja gora) masyarakat Ngada dengan tetap menjaga nuansa rohani.
Upacara Reba dapat disaksikan di masing-masing kecamatan yang terletak di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Provinsi NTT. Masing-masing kecamatan itu adalah Aimere, Bajawa, Mataloko, Jerebu‘u dan So‘a.
Akses Menuju kawasan iniyaitu dari Kupang, ibukota Provinsi NTT, dapat naik pesawat menuju Ende, sebuah kota di Pulau Flores. Setiba di sana, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Ngada yang berjarak sekitar 61 kilometer dengan naik minibus.
Fasilitas di kota Ngada terdapat beberapa hotel, mulai dari kelas melati hingga bintang dua. Di samping itu, terdapat beberapa restoran yang menyediakan makanan khas Ngada, dan beberapa biro wisata yang siap melayani wisatawan ke obyek wisata lainnya di sekitar Ngada. 

UPACARA PERNIKAHAN ADAT BETAWI




Budaya betawi mengenal cara yang bertingkat-tingkat untuk sampai pada tahap berumah tangga. Tahap-tahap itu pada saat ini memang jarang atau tidak lagi dilakukan, karena berbagai halangan. Tahap-tahap tersebut adalah:
a-      Ngedelegin, mencari calon menantu perempuan yang di lakukan oleh Mak Comblang.
b-      Ngelamar, pernyataan meminta pihak lelaki kepada pigak perempuan.
c-      Bawa Tende Putus, pernyataan atau kesepakatan kapan pernikahan akan dilaksanakan. 
d-   Ngerudat, rombongan keluarga pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, seraya membawa serah-serahan seperti roti budaya, pesalin, sie, dan lain-lain.
e- Akad Nikah, ikrar yang di ucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapsn wali pengantin perempuan. 
f.     
 -  Kebesaran, upacara kedua mempelai duduk di puade untuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan undangan.
  
g-      Negor, upaya suami merayu istrinya untuk memulai hidup baru sebagai sebuah keluarga.
h-   Pulang Tige Ari, upacara resepsi pernikahan yang di lakukan di rumah keluarga pengantin lelaki. 


TRADISI RUWATAN DI JAWA TENGAH

Ruwatan merupakan tradisi adat yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat jawa, pada prakteknya manusia hidup bermasyarakat diatur oleh suatu aturan, norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu yang mengikatnya, sekaligus merupakan cita-cita yang diharapkan untuk memperoleh maksud dan tujuan tertentu yang sangat didambakannya. Aturan, norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan itulah yang mewujudkan sistem tata nilai untuk dilaksanakan masyarakat pendukungnya, yang kemudian membentuk adat-istiadat. Koentja-raningrat  mengatakan bahwa adat-istiadat sebagai suatu kompleks norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya dianggap ada di atas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat.
Ditengok dari segi sejarah, adat-istiadat Jawa telah tumbuh dan berkembang lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih diakrabi dan dipatuhi oleh orang Jawa yang masih ingin melestarikannya sebagai warisan kebudayaan yang dianggap luhur dan agung. Dalam usahanya untuk melestarikan adat-istiadat, masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai yang telah diatur. Sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan diwujudkan dalam upacara tradisi yang pada prinsipnya adalah penerapan dari tata kehidupan masyarakat Jawa yang selalu ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik jasmaniah maupun rohaniah.
Salah satu upacara tradisi yang sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini, dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yaitu tata upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat”, kata “ruwat” diambil dari kata “luwar”, yang berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini adalah agar seseorang yang “diruwat” dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya (mala petaka).Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta/aib, maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang terkena sukerta akan mengalami kesialan dalam kehidupan duniawinya, karena itu usaha yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala ancaman bahaya dari kehidupannya di dunia.
Upacara ruwatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa tidak terlepaskan dengan gelaran wayang kulit yang mengangkat cerita tentang Murwakala dan Sudamala, dalam sajiannya  wayang kulit dimaksudkan untuk mengusir roh jahat yang berada di dalam tubuh seseorang yang diruwat, mantra-mantra  diucapkan oleh  dalang pada waktu ia menggelar cerita wayang kulit murwkala dan sudamala. Di dalam wayang kulit terdapat makna yang dikandung arti kehidupan yang sangat mendasar.
Arti penting dalam kaitannya dengan wayang ialah masyarakat Jawa sering mengaitkan antara peristiwa yang terjadi di dalam dunia wayang dengan dunia nyata. Hakekat wayang adalah  bayangan dunia nyata, yang didalamnya terdapat makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam wayang, visualisasi Batara Kala adalah dewa berwajah raksasa yang tinggi, besar, menyeramkan dan menakutkan. Anggapan-anggapan ini lama-kelamaan menjadi keyakinan yang kokoh di dalam keyakinan mayarakat Jawa. Agar terhindar dari ancaman
Batara Kala, mereka mengadakan upacara ruwatan dengan sarana pertunjukan wayang dengan lakon khusus, yaitu Murwakala atau Sudamala.
 

KIRAB KERBAU KYAI SLAMET

Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura  ini melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta. Kirab dilakukan dengan membawa penerangan obor dan lampu ting mengelilingi kompleks Keraton melalui Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten Mulyadi-Jl Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke kraton.  Dari Pringgitan  KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju teras Pendhapi Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi Pura Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka tersebut dibasuh air terlebih dahulu.  Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun Pakubuwono akan berdoa dengan bersemedi di dalam keraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Dan inilah yang menarik, orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
 
 
 

posted under | 1 Comments

1 komentar:

danijuntak mengatakan...

Usahakan setiap ada penyalinan (copy/paste) menyertakan link sumber. Terimakasih

Posting Komentar

Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Recent comments

Total Tayangan Halaman

Followers


Recent Comments